Masinton Pasaribu: DPR Bukan “Macan Ompong”, tetapi Penyalur Inspirasi Masyarakat

Masinton Pasaribu: DPR Bukan “Macan Ompong”, tetapi Penyalur Inspirasi Masyarakat

Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Masyarakat (DPR) Republik Indonesia (RI) Masinton Pasaribu menjelaskan, DPR sebagai instansi penyalur inspirasi warga sering dipandang seperti “macan ompong” atau pendamping instansi eksekutif, yaitu presiden yang mempresentasikan pemerintahan.

Asumsi itu, kata Masinton, sering ada karena tidak seluruhnya inspirasi warga bisa direalisasikan hingga berkesan diacuhkan. Walau sebenarnya, eksekusi atas inspirasi itu sebagai wewenang instansi eksekutif, bukan legislatif.

“Masalah yang kerap kali ditemui DPR ialah saat kami sampaikan inspirasi warga ke pemerintahan agar dilakukan, ada beberapa pemikiran dari pemerintahan. Beberapa (inspirasi) dapat diwujudkan, tapi ada juga yang tidak tereksekusi dengan beragam pemikiran,” tutur Masinton ke Kompas.com saat dijumpai di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (1/3/2023).

Menurut politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) itu, semua beberapa fungsi kenegaraan bisa berjalan dengan baik jika instansi legislatif jalankan peranannya sebagai penghubung inspirasi masyarakat dan pemerintahan sebagai instansi eksekutif merealisasikan inspirasi itu.

“Maka DPR tidak boleh disebut macan ompong atau hanya tukang stempel pemerintahan. Kadang, DPR (saat ini masih dipandang) demikian. Walau sebenarnya, DPR di zaman Reformasi sekarang ini berperanan penting dalam kenegaraan daripada DPR pada zaman Orde Baru (Orba),” ungkapkan legistlator dari Wilayah Penyeleksian (Dapil) DKI Jakarta II (Jaksel, Jakpus, dan luar negeri) itu.

Masinton juga menceritakan saat dianya menekuni sebagai aktivis mahasiswa yang stabil menyorot performa DPR zaman Orba. Salah satunya hal yang mereka kritisi waktu itu ialah peranan DPR yang berkesan cuma untuk “tukang stempel”. DPR pada periode itu mempunyai wewenang terbatas.

Kebatasan itu, kata Masinton, tidak lepas dari kekuasaan pemerintahan Orba yang mengooptasi semua baris, terhitung parpol (partai politik) yang menempati bangku legislatif.

“DPR dahulu ada fraksi tanpa lewat penyeleksian umum (pemilu), yaitu fraksi ABRI. Selanjutnya, tiga fraksi dari partai politik Kelompok Kreasi (Golkar), PDI, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP),” jelas Masinton.

Ke-3 partai itu, sambungnya, memang bisa lolos pemilu. Tetapi, pemilu yang digerakkan saat itu tidak berdasarkan konsep adil dan jujur (jurdil) seperti sekarang ini.

Karena kekuasaan yang mencekram kuat atas semua partai politik, karena itu anggota DPR di zaman Orba susah untuk (keras) bicara sampaikan inspirasi masyarakat.

“Akhirnya, DPR saat itu cuma jadi (juru) stempel saja. Berlainan sikap atau mengkritik pemerintahan ialah hal pemali,” terangnya.

Sesudah Reformasi, lanjut Masinton, peranan dan peranan DPR kembali jalan seperti mestinya, yaitu sebagai kontrol pada peraturan dan program pemerintahan.

Tiap peraturan vital dan keputusan politik tidak bisa dikerjakan sendiri oleh presiden atau pemerintahan, tetapi harus juga lewat kesepakatan DPR. Ini terhitung pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI), Gubernur Bank Indonesia (BI), dan Hakim Agung.

“Jika dahulu kan, pemerintahan ya pemerintahan saja (melakukan tindakan atau putuskan) sendiri. Jika saat ini, harus ada kesepakatan DPR,” tuturnya.

Hal tersebut, kata Masinton, salah satunya bentuk peralihan peranan dan peranan DPR dari zaman Orba ke Reformasi.

Dalam masalah ini, DPR dikasih beberapa wewenang sebagai wujud pengejawantahan kedaulatan masyarakat dalam melakukan beberapa fungsi politik negara, yaitu pemantauan, kesepakatan, dan pembikinan undang-undang (UU), dan ulasan Bujet Penghasilan dan Berbelanja Negara (APBN).

“Negara monarki kekinian mempunyai parlemen sebagai representasi kedaulatan masyarakat. Realisasi dari kedaulatan masyarakat secara resmi berada di bahu DPR,” katanya.

Oleh karenanya, menurut Masinton, DPR harus sanggup melafalkan kedaulatan masyarakat dan aspirasinya.

“Saya menyaksikan ada banyak perkembangan dalam pengendalian di parlemen kekinian yang makin terbuka. Walau demikian, memang setahap dan tidak dapat sekalian,” kata Masinton.

About admin

Check Also

Kompolnas Ungkapkan Kematian Bripka AF yang Disebutkan Bunuh Diri di Samosir Ganjil

Kompolnas Ungkapkan Kematian Bripka AF yang Disebutkan Bunuh Diri di Samosir Ganjil

Kompolnas Ungkapkan Kematian Bripka AF yang Disebutkan Bunuh Diri di Samosir Ganjil Komisi Kepolisian Nasional …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *